Powered By Blogger

Minggu, 28 Maret 2010

MUHAMMADIYAH DAN TAJDID (PEMBAHARUAN)

Oleh

Roma Hadi Tri Susangka 07340022







UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2010

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan pemabaharuan di awal paruh abad dua puluh telah menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi dinamis, cerdas dan kreatif dalam melihat tanda-tanda jaman. Sosok KH. Ahmad Dahlan mewakili kecerdasan itu. Beliau tampil elegan dengan gaya pemikiran bebas, kreatif sekaligus arif. Pada dirinya tampil kesempurnaan pemikir pembaharu yang utuh.
Memahami Muhammadiyah bukanlah memahami organisasi dalam pengertian administratif yang bersifat teknis saja, namun kita harus memahami Muhammadiyah sebagai gerakan Islam atau gerakan keagamaan (religious movement) yang terkandung di dalamnya sistem keyakinan (belief system), pengetahuan (knowledge), organisasi (organization) dan praktik-praktik aktifitas (practices activity) yang mengarah pada tujuan (goal) yang dicita-citakan.
Tampil sebagai gerakan pembaharu, Muhammadiyah mendapatkan pengikut yang kebanyakan kaum muda yang menginginkan perubahan dari kekolotan faham agama yang jumud atau mandeg. Percampuran faham agama dengan dogma Takhayul, Bid’ah dan Khurafat (TBC) yang melekat saat itu adalah pekerjaan besar yang dihadapi Muhammadiyah. Proses revitalisasi dengan jargon kembali kepada Al-Quran dan Sunnah menjadi alat yang ampuh untuk membangunkan kembali umat Islam dari tidur panjangnya. KH. Ahmad Dahlan dengan semangat tajdidnya mengagetkan banyak ulama saat itu, ia sempat dicaci sebagai kyai gila atau entah apalagi.
Pembaharuan yang pernah dilakukan Muhammadiyah di era KH. Ahmad Dahlan kini muncul kembali seiring dengan berubahnya kondisi sosial, politik, budaya dan pendidikan. Kemunculan gerakan pembaharuan pemikiran dalam pemahaman ajaran agama adalah hal yang wajar dan logis, karena budaya manusia selalu berkembang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga sangat berpengaruh pada pola pikir manusia, termasuk dalam memahami teks-teks agama. Namun, satu prinsip yang perlu selalu dipegang adalah bahwa pembaharuan itu hendaknya tidak menghilangkan inti dari ajaran agama itu sendiri. Bila inti ajaran agama itu hilang, maka namanya bukan lagi pembaharuan, tetapi perusakan atau penggantian dengan hasil pikiran manusia sendiri tanpa mengindahkan inti ajaran agama yang pada dasarnya berasal dari wahyu Allah.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah
A. Apakah yang dimaksud dengan Tajdid (Pembaharuan) dalam Muhammadiyah?
B. Apakah contoh Tajdid dalam Muhammadiyah?

1.3 Tujuan
A. Dapat mengetahui Tajdid dalam Muhammadiyah.
B. Dapat mengetahui contoh Tajdid dalam Muhammadiyah.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tajdid dan Muhammadiyah
Kehidupan adalah perubahan, dan perubahan itu harus bersifat progressif revolusioner. Hal ini membuktikan bahwa dalam diri manusia tidak berada dalam ruang yang kosong dan statis. Ada kesinambungan antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Perubahan sesuatu ada yang di kehendaki manusia maupun tidak. Karena itu dalam pergumulan eksistensi umat Islam sebagai khalifah fil ardh umat Islam senantiasa berhadapan dengan perubahan internal-eksternal sehingga mustahil untuk menutup diri dan pura-pura tidak tahu akan adanya perubahan yang terjdi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan, Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas. Sebab jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan dilakukan? Sesuatu yang pada dasarnya memang adalah ajaran yang batil dan semakin lama semakin batil, akan ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya syariat samawiyah yang mungkin mengalami tajdid. Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud)
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman.
Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama, setelah perjalanannya berabad-abad lamanya dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu.
Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
Muhammadiyah sejak kelahirannya di Kauman, Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H memang memiliki karakter atau watak kuat sebagai gerakan tajdid. KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah dikenal pula sebagai mujadid atau pembaru karena sejumlah gagasan dan langkah gerakannya yang bersifat pembaruan. Kelahiran Muhammadiyah dan ketokohan KH. Ahmad Dahlan pada awal abad ke-20 di negeri tercinta ini memang benar-benar membawa pembaruan ketika saat itu umat Islam berada dalam kondisi jumud (statis) dari segi paham dan pemikiran keagamaan serta tertinggal dalam kondisi kehidupan.
Muhammadiyah yang kini usianya sudah seabad merupakan sebuah fenomena tersendiri dalam khasanan sejarah Islam di Indonesia. Muhammadiyah telah banyak menghiasi berbagai ruang dan tempat sejarah Indonesia dari mulai pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan, eksistensi Muhammadiyah dalam mengisi kemerdekaan tak perlu di ragukan lagi.
Seiring perkembangan masyarakat yang dinamis dan sangat kompleks memaksa Muhammadiyah untuk menyesuaikan dirinya dengan perkembangan tersebut. Sebagaimana organisasi-organisasi keagamaan lainnya, Muhammadiyah dituntut oleh keadaan untuk menilai kembali identitasnya agar tetap relevan dan mampu mengatasi tantangan-tantangan yang ada yang semakin kompleks.
Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan muliti aspek melalui dakwah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al amr bil al makruf wa al nahi al munkar (mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar) sehingga umat manusi memperoleh keberuntungan lahir dan bathin dalam kehidupan ini. Dakwah yang demikian itu mengandung makna bahwa Silam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama dan lain-lain.
Surat Ali Imran ayat 110 yang artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.

2.2 Contoh Tajdid dalam Muhammadiyah
Muhammadiyah dikenal sebagai suatu organisasi medernis (Tajdid). Kesediaan Muhammadiyah untuk mengadopsi metode-metode modern (Barat) dalam kehidupan organisasi sehari-hari, Misalnya dalam sistem pendidikan, Muhammadiyah mengambil alih sistem pendidikan barat yakni dengan tanpa memisahkan (dikhotomi) antara pendidikan agama dan pendidikan umum, Muhammadiyah hadir dengan memadukan mata pelajaran agama dan umum, ini merupakan upaya praktis modernisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Itu salah satunya, dan salah satu studi kasus terbaru adalah Muhammadiyah tengah mengembangkan strategi dakwah terbaru dengan melibatkan teknologi informasi (TI) sebagai sarananya.
Seiring makin kompleksnya permasalahan yang harus dihadapai oleh Muhammadiyah, sering pada akhir-akhir ini menimbulkan tudingan bahwa organisasi ini sedang mengalami kemandekan. Untuk itu, sangat menarik kiranya Muhammadiyah mencermati dan berdakwah “amar ma’ruf nahyi mungkar” dengan menggunakan media teknologi informasi (TI). Mengingat era kini sudah memasuki era globalisasi.
Dewasa ini teknologi informasi memang sudah menyenyuh di berbagai lapisan baik masyarakat ke atas, menengah, ke bawah maupun berbagai organisasi yang tidak bisa lepas dari TI. Muhammadiyah dan TI sudah tentu saling bersinergi untuk membangun masyarakat yang sebenar-benarnya, sebagaimana yang menjadi tujuan utama Muhammadiyah. Selain itu, kehadiran TI saat ini seakan memiliki fungsi dan efek yang sama. Artinya, fungsi dari kehadiran TI juga telah melahirkan dampak-dampak negatif yang ada di masyarakat.
Tidak bisa ditawar-tawar lagi, umat Islam harus mampu menguasai dan memanfaatkan sebesar-besarnya perkembangan teknologi informasi untuk berdakwah. Bahkan Ketua Muslim Information Technology Association (MIFTA) Dr Kun Wardhana Abiyanto mengatakan “Dari sisi dakwah, kekuatan internet sangat potensial untuk dimanfaatkan”.
Bahkan ada sejumlah kalangan beranggapan umat Islam sangat jauh tertinggal di bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya globalisasi, kompetisi tentu akan semakin berat. Maka otomatis kita kan dituntut untuk berlomba-lomba menguasai bidang teknologi informasi serta mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Karena era globalisasi tentu bukan lagi bersaing dari segi modal saja, melainkan sumber daya manusia yang bermutu dan berkualis. Sebagai umat Islam perlu mempersiapkan diri menghadapi tantangan zaman tersebut.
Peran Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid (pembaharuan) harus mampu menjawab tantangan masa depan. Bagaimana strategi dakwah Muhammadiyah dalam menjawab tantangan era globalisasi dan informasi saat ini. Muhammadiyah dan teknologi informasi saling bersinergi. Apabila di cermati sejak kelahiran dan perkembangannya, Muhammadiyah menunjukan identitas sebagai gerakan Tajdid atau pembaharuan. Muhammadiyah yakin bahwa dengan memahami secara sungguh-sungguh, baik dan benar akan ajaran Islam, maka implementasinya tentu akan baik pula.

BAB III
KESIMPULAN


“PERUBAHAN BUTUH PERJUANGAN

PERUBAHAN BUTUH
PENGORBANAAN

PERUBAHAN BUTUH
KOMITMEN

PERUBAHAN BUTUH KEYAKINAN
UNTUK BISA MELAKUKANNYA

DAN PERUBAHAN BUTUH
TINDAKAN

KITA PASTI BISA”

SUKRON KASIRON