Powered By Blogger

Selasa, 18 Mei 2010

Putu Wijaya Bermonolog di UMM

Malang, 17 April 2010

Aksi PutuWijaya saat bermonolog
Setelah dinanti-nanti oleh para penggila sastra di Malang Raya, akhirnya Putu Wijaya datang juga. Putu Wijaya memilih UMM sebagi tempat Roadshownya di Malang. Dia pun membuktikan totalitas dalam penghayatan terhadap seni peran dengan narasinya yang memukau dalam pentas teater pada Jumat malam (16/04) di Theater Dome UMM. Ratusan penonton hadir memadati acara yang diadakan oleh HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia (BAHTERA) UMM, yang mengusung tema “Teror Mental”.
Monolog berjudul ’Empu’ menjadi pilihan pertama dalam rangkaian tiga monolog yang dibawakannya. Dalam monolog itu, Putu ingin menunjukan apresiasi dan kekaguman yang sangat tinggi kepada tokoh besar bangsa Indonesia, yaitu almarhum Gus Dur. Putu Wijaya ingin menunjukkan kepada penonton bahwa Gus Dur adalah orang besar yang semasa hidupnya mampu memberi kritik – kritik segar terhadap bangsa Indonesia.
Monolog kedua berjudul ’poligami’ yang memotret penderitaan hidup wanita Indonesia. Nasib mereka dari generasi ke genereasi yang tidak berubah, “Inilah nasib - nasib wanita Indonesia, setiap harinya menderita. Jadi tukang cuci, mengurus dapur dan kerja rodi di kasur. Dari jaman dulu sampai nanti, nasibnya seperti TKW”, paparan Putu di antara penggalan- penggalan narasinya.
Monolog berjudul ‘Kemerdekaan’ adalah cerita yang dipilih untuk menutup acara tersebut. Menurutnya, Teater adalah bahasa untuk mengerti pikiran orang lain. Sehingga dalam monolog tersebut, kemerdekaan, dimaknai sebagai sebuah bentuk ekspresi tentang perjuangan merebut kebebasan. Bukan perjuangan sendiri – sendiri sebagai hadiah tapi kemerdekaan yang direbut dengan darah untuk kepentingan bersama, bangsa Indonesia.
Putu Wijaya merasa betah bermonolog di UMM, “Saya ingin bermonolog lagi di sini, karena semuanya sangat antusias dalam menerima saya. Kau selamanya akan ku tanam dalam hatiku” ungkapnya sambil berpuisi sebagai ucapan terimakasih.
Dalam kesempatan sarasehan, Putu Wijaya juga Berpesan “Walau ada kalimat-kalimat yang cabul dan ketawa-ketawanya dalam narasi tadi, tapi saya percaya satu atau dua kalimat tadi akan terbawa di hati kalian, dimana nanti akan menjadi bom waktu di masa yang akan datang, dan akan meledak dalam sepuluh tahun atau sesampai di rumah, kalimat itu akan bergeming di hati kalian. Dan itulah kebahagiaan saya untuk berbagi ilmu dengan kalian”, pesannya.
Putu juga menyampaikan pesan bahwa sesungguhnya teater adalah peristiwa batin bukan sekedar pertunjukan saja. Sebagai orang Bali, Putu mengaku sangat menjunjung pepatah Dase, Kale, Patre yang berarti tempat, waktu dan susana dalam membawakan setiap pentasnya. Mengindahkan sebagian peraturan yang ada untuk mendapatkan estetika cerita. “Saya ditabrak keadaan, yang membuat jalan cerita mengalir seperti itu. Jujur semua dialog yang saya bawakan barusan adalah hasil improvisasi dan tidak pernah saya rencanakan sebelumnya”, ujar sastrawan asal Bali itu menutup acara sarasehan. (roma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar