Powered By Blogger

Selasa, 18 Mei 2010

Soal Film Cowboys In Paradise

BEREDARNYA film dokumenter Cowboys In Paradise membuat gerah aparat dan warga Bali. Pasalnya, film yang menceritakan sepak terjang gigolo atau pria tunasusila (PTS) itu mencemarkan wisata Bali yang selama ini menjual atau mengedepankan wisata budaya dan alamnya, bukan sebagai wisata seks.
Namun, kita harus akui dunia gigolo itu memang ada. Mereka tumbuh dan berkembang tidak hanya di Kuta, namun di daerah wisata yang tingkat kedatangan turis dari mancanegaranya cukup banyak, di situlah potensi munculnya gigolo. Jadi, gigolo juga ada di derah wisata di luar Bali.
Aparat dan warga Bali menjadi marah kepada film dokumenter tersebut, karena seolah-olah yang menjadi gigolo adalah penduduk asli. Etnis mana yang banyak menjadi gigolo itu memang harus diteliti agar tidak terjadi ketersinggungan. Namun, dari fakta yang ada, tidak hanya etnis lokal yang melakukan hal demikian. Banyak etnis pendatang yang melakukan pekerjaan seperti itu.
Memang dalam film tersebut, sutradara Amit Wirmani mengungkapkan di situs pribadinya, www.cowboysinparadise.com merasa terkejut ketika menemukan bocah Bali yang berusia 12 tahun belajar keras bahasa Jepang. Bocah itu mengatakan, "Kalau saya sudah besar nanti, saya mau memberi layanan seks untuk gadis Jepang."
Penyebab utama adanya fenomena Cowboys in Paradise ini, karena adanya kemiskinan. Sebab, kalau kita lihat, laki-laki yang setiap hari nongkrong di pantai yang lebih akrab disebut dengan “anak pantai” tidak terserap secara formal di jasa-jasa pelayanan wisata. Dengan demikian, tak heran bila mereka menjadi penyedia jasa wisata secara mandiri atau tidak formal.
Karena tidak formal, secara etika dan tata tertib, tidak ada yang mengontrol mereka. Tidak adanya pengontrolan itu membuat mereka selama menjadi gigolo terkadang sering bertindak kriminal. Untuk itu, yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan pelaku di dunia wisata ialah mengakomodasi atau menyerap masyarakat sebagai tenaga kerja wisata.
Sangat arif ketika Ketua Satgas Pantai Kuta Gusti Ngurah Tresna mengatakan bahwa Kuta adalah daerah terbuka sehingga ada 1.100 orang pedagang dari berbagai etnis yang bisa melakukan aneka usaha secara positif. Dibukanya peluang mencari rezeki secara halal itulah yang akan meminimalkan seseorang menjadi gigolo. Untuk itu, satpol PP harus mengurangi razia terhadap para pedagang yang berjualan di tempat-tempat wisata.
Adanya gigolo bisa jadi adanya kebutuhan. Untuk mencegah hal yang demikian, para wisatawan asing pun jauh-jauh sebelumnya juga harus di warning, agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang. Bila di bandara-bandara kita diperingatkan dengan adanya bahaya terorisme, di situ juga harus dikampanyekan no free sex in Indonesia. Hotel atau tempat penginapan juga harus berani memasang tulisan not for unmarried couple.
Hal tersebut sangat penting. Sebab, pariwisata Indonesia adalah pariwisata budaya dan keindahan alam. Degan cara itu, penyebaran AIDS di Indonesai dapat dicegah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar